Minggu, 09 September 2018

Cita-Citaku Setinggi Tanah (by: A.P)




Langit pagi hari begitu memikatnya. Embun tipis bak kapas yang halus seakan enggan untuk memudar. Matahari tersenyum tipis menyapa dunia, memberi semangat kepada semua orang. Ada yang spesial hari ini. Ya, hari ini aku akan pulang ke Depok. Sejak lima tahun lalu, aku tinggal di Yogyakarta bersama abah. Bukan, dia bukan ayahku, dia kakekku, ayah dari ayahku. Ya, sejak SMP aku tinggal bersama kakekku di Yogyakarta.
Saat ini sudah masuk paruh kedua tahun 2011, tepatnya Bulan Juli 2011. Liburan semester genap telah tiba. Sebentar lagi aku akan naik ke kelas dua belas, atau orang biasa menyebutnya kelas tiga SMA. Ya, sudah terbayang betapa sibuknya kehidupanku di kelas dua belas besok. Seperti sibuknya kakak-kakak angkatanku waktu kelas dua belas dahulu. Waktu di kelas dua belas pasti akan terasa sangat singkat. Selangkah lagi aku akan lepas dari masa putih abu-abu dan menuju dunia kampus.
Dunia kampus, dunia yang masih teramat asing bagiku. Ya, dunia yang sama asingnya dengan hutan hujan tropis yang belum pernah terjamah oleh manusia. Aku belum tahu seluk-beluk dan atmosfer yang ada di sana, kecuali dari informasi yang kudapatkan dari internet.

*****

            Hari ini aku akan pulang ke Depok. Sejak lima tahun lalu, baru kali ini aku sempat pulang ke Depok. Aku akan mendiskusikan masalah ini bersama kedua orang tuaku. Mendiskusikan masalah dunia kampus yang sebentar lagi akan kujamah. Mendiskusikan masalah rute perjalanan petualanganku selepas dari putih abu-abu kelak.
            Deru roda kereta api mewarnai suasana pagi hari ini. Pedagang asongan tak hentinya menawarkan barang dagangannya. Tak jarang juga beberapa seniman jalanan menghibur kami, tepatnya menghiburku. Ya, menghiburku yang sedang bingung dan khawatir kalau-kalau proposal perjalanan hidupku akan ditolak oleh kedua orang tuaku. Khawatir kalau-kalau cita-citaku tidak direstui mereka. Ya, semoga kekhawatiranku itu tidak benar.

*****

            Aku tiba di Depok pukul empat sore. Matahari senja tersenyum tipis. Angin lembut membelai semua orang di kompleks perumahan ini. Ibu-ibu sedang menyuapi anak-anaknya yang masih balita. Bapak-bapak baru pulang dari masjid. Sebagian lagi ada yang baru pulang dari tempat mereka mencari nafkah. Anak-anak kecil sedang bermain bola di gang perumahan ini. Sebagian yang lain bermain kelereng. Suasana ramai nan ceria mewarnai sore hari ini. Ah, sungguh suasana senja yang sudah lama tidak aku rasakan.
            “Eh, Albi, baru datang. Apa kabar?” Belum sampai aku ke depan rumahku, Aray, teman masa kecilku sudah menyapaku.
            “Aray? Alhamdulillah baik-baik saja, Ray. Kamu gimana?” Jawabku sambil keheranan karena Aray tampak jauh berbeda dengan Aray yang lima tahun lalu. Sekarang dia lebih tinggi dariku.
            “Alhamdulillah, aku juga baik-baik saja. Ayo, mampir ke rumahku, Al!” Ucap Aray.
            “Wah, kapan-kapan ya, Ray. Bahkan aku pun belum masuk ke rumahku. Tas ransel bawaanku juga masih kugendong” Jawabku sambil tersenyum tipis.
            “Oh, ya. Tapi janji loh, Al. Awas kalau besok kamu nggak main ke rumahku.” Jawab Aray sambil membalas senyuman.
            Setelah melepas rindu pada teman masa kecilku, aku melanjutkan perjanan ke rumahku, tepatnya di blok D. Aku menyusuri kompleks perumahan ini sembari mengenang kembali kisah-kisah masa kecilku lima tahun silam, hingga akhirnya aku tiba di rumahku, di blok D. Ayah dan Ibuku sudah menungguku di sana. Mereka memberikan sambutan hangat penuh keceriaan. Tak ketinggalan juga dengan Adi, adik laki-lakiku yang masih berumur sepuluh tahun. Tampaknya dia sudah besar sekarang. Ah, aku rindu keluargaku.

*****

            Ada yang berbeda malam ini. Bukan, bukan karena malam ini terasa sangat sejuk dengan bintang-bintang yang tergantung di langit sana. Bukan juga karena sang rembulan sedang memamerkan keindahannya. Tapi sebaliknya. Malam ini terasa sangat menegangkan. Ruang tamu rumah kami seakan terasa sangat pengap. Bagiku malam ini terasa sangat genting, mungkin sama gentingnya dengan kondisi Indonesia saat dijajah Belanda.
            “Teknik mesin?” Tanya ayahku dengan raut wajah kemerahan penuh keterkejutan. “Memangnya sarjana teknik mesin bisa apa? Mau jadi apa kamu setelah lulus? Mau jadi montir di bengkel?” Ucap ayahku melanjutkan kalimatnya.
            Kali ini aku benar-benar dalam kondisi siaga satu. Aku menelan ludah. Badanku gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Mulutku bungkam, tak bisa mengeluarkan satu kata pun. Ya Tuhan, tolong aku.
Selama ini belum pernah aku berdebat langsung dengan kedua orang tuaku. Hampir semua petuah mereka aku dengarkan dan aku patuhi. Seperti saat mereka menyuruhku untuk pindah ke Yogyakarta dan tinggal bersama abah lima tahun silam. Aku pun menurutinya. Tapi kali ini, rasanya aku tidak bisa mengikuti perintah mereka lagi.
Belum sempat aku menghela nafas, Ibuku lebih dahulu mengeluarkan wejangannya, “Sudah, kamu masuk Kedokteran UI saja. Sudah prospek kerjanya lebih jelas, kualitasnya juga bagus, dan lokasinya juga dekat, jadi kamu tidak perlu kos. Menghemat biaya juga.”
Aku menghela nafas. Ternyata apa yang aku khawatirkan waktu aku akan berangkat ke Depok terjadi. Ya, proposalku ditolak oleh kedua orang tuaku. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam. Mengambil ancang-ancang, dan saat bibir ini akan bersuara, Ayah lebih dahulu melanjutkan kalimatnya, “Betul apa kata Ibumu. Sudah, kamu masuk FK UI saja. Kamu juga bisa sambil menemani adikmu disini.”
“Iya Al, dan kalau kamu masuk kedokteran, kamu bisa menolong banyak orang. Insya Allah berkah.” Ucap Ibuku melengkapi petuah ayahku. Ah, Ya Tuhan. Semua kata-kataku yang sudah kususun rapi dan kusiapkan matang-matang dengan pondasi yang kokoh sejak aku akan berangkat ke Depok, kini semuanya runtuh seketika. Keringat dinginku makin bercucuran. Aku menghela nafas lagi.
“Lagipula, cita-cita itu harus setinggi langit. Orang-orang bercita-cita tinggi. Mereka ingin jadi dokter, atau tentara, atau bahkan jadi presiden. Kamu kok malah ingin masuk Teknik Mesin.” Sambung ayahku. Ya, memang dokter pernah menjadi cita-citaku. Tapi itu dahulu. Dahulu sekali sebelum aku menemukan jati diriku. Sebelum aku mengenal siapa diriku.
Aku kembali menghela nafas dan mula mengambil ancang-ancang lagi. Aku harap kali ini mulutku tidak bungkam lagi. Sebelum terdahului lagi oleh kedua orang tuaku, aku buru-buru mengeluarkan kalimat-kalimat yang selama ini berputar-putar di kepalaku, “Tapi Yah, Bu, di kedokteran itu biologi sama kimia sangat diperlukan. Sedangkan aku nggak suka biologi, apalagi menguasainya. Aku sama sekali tidak bisa menikmati pelajaran biologi. Bahkan aku pernah mendapat nilai merah tiga kali berturu-turut pada ulangan harian di semester empat kemarin. Kalau kimia memang sedikit-sedikit aku bisa, itu pun cuma yang eksaknya, sedangkan yang bersifat hafalan, pasti aku mati kartu. Justru aku lebih suka matematika sama fisika, dan keduanya pasti dipelajari di teknik mesin.” Ucapku dengan bibir yang masih gemetar. Tapi aku lega, setidaknya bibirku tidak bungkam lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum kedua orang tuaku mengeluarkan lagi wejangannya, aku buru-buru melanjutkan kalimatku, “Dan sarjana teknik mesin itu dibutuhkan disemua sektor industri manufaktur, Yah, Bu. Semua orang tidak hanya butuh dokter. Tapi semua orang juga butuh insinyur, butuh peralatan mekanik, alat transportasi, listrik, dan butuh pembangkit listrik. Sarjana teknik mesin sangat diperlukan disitu. Aku yakin semua jurusan yang dibuka pasti memiliki prospek kerja yang bagus. Dan aku yakin, di teknik mesin, aku bisa mendapatkan masa depan yang cerah. Aku akan berusaha sungguh-sungguh, sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan setelah lulus, tapi orang-orang yang akan mencariku. Kalau soal biaya kos, aku ingin masuk Teknik Mesin UGM, jadi aku bisa tinggal bersama abah lagi di Yogyakarta dan tidak perlu kos juga. Lokasinya kan juga dekat. Lagipula, kalau aku pindah ke Depok lagi, abah mau sama siapa? Kasihan Yah, Bu.” Ucapku menyambung kalimat-kalimatku yang mulai kususun kembali. Kali ini tinggal ayah dan ibuku yang terdiam. Suasana menjadi hening sejenak.
“Halah, tapi nyatanya banyak sarjana teknik mesin yang cuma jadi montir di bengkel. Lebih parahnya lagi ada juga yang jadi pengangguran. Dan sebagian besar mereka juga cuma kerja di pabrik-pabrik. Memangnya berapa sih gaji karyawan pabrik? Gimana kamu mau menafkahi anak istrimu kelak?” Tanya ayahku yang ternyata belum kehabisan kata-kata.
Aku mulai menghela nafas untuk ke yang sekian kalinya, “Soal rezeki itu sudah ada yang mengatur, Yah. Kita nggak akan pernah tahu masa depan. Tapi aku yakin, kalau aku memiliki profesi sesuai dengan passion, maka hasilnya akan maksimal. Kalau aku masuk kedokteran, sedangkan bakat dan minatku bukan disitu, aku takut aku akan salah mendiagnosa pasien kelak ketika aku jadi dokter, Yah” Jawabku sambil menangkan diri.
“Kamu tidak perlu takut soal itu. Semua sudah ada ilmunya dan diajarkan disana.” Jawab ibuku dengan nada yang mulai menurun.
“Tapi, Yah, Bu. Rasanya bakat dan minatku tetap bukan di kedokteran. Aku tidak yakin di kedokteran, aku bisa maksimal. Aku justru lebih yakin di Teknik Mesin. Yah, Bu, jika aku gagal kelak, biarlah aku menyalahkan diriku sendiri atas keputusanku ini, daripada aku menyalahkan kalian atas keputusan kalian itu.” Jawabku dengan yakin. Aku lega, setidaknya kalimat-kalimat yang selama ini terbayang-bayang di kepalaku bisa aku ekspresikan semua. Kini tinggal Ayah dan Ibuku yang terdiam. Raut muka mereka sudah mulai mereda.
“Kamu yakin dengan keputusanmu?” Tanya Ibu dengan nada yang sudah turun.
“Iya, Bu. Aku sangat yakin dengan keputusan ini.” Jawabku dengan memberikan senyum.
“Ya, baiklah kalau kamu sudah sangat yakin dengan keputusanmu itu. Ibu tidak bisa memaksakan. Ibu Cuma bisa mendo’akan semoga kamu selalu sukses.” Jawab Ibuku dengan nada rendah dan raut muka pasrah. Ah, terima kasih Tuhan. Sepertinya Ibu sudah mulai mengerti dengan apa yang aku maksudkan. Tapi, tidak dengan ayahku. Ayahku masih diam dengan muka pasrah kemerahan.
“Ya, sebenarnya Ayah dan Ibu cuma nggak mau kamu salah mengambil keputusan. Kami tidak ingin masa depanmu hancur berantakan gara-gara kamu salah ambil keputusan. Soalnya transisi dari SMA ke dunia kampus itu masa yang paling menentukan. Masa transisi yang akan menentukan garis besar kehidupanmu di masa depan. Sebenarnya sih, Ayah masih tetap ingin kamu masuk kedokteran. Tapi kalau keputusanmu sudah bulat, yah, apa boleh buat. Ayah juga cuma bisa mendo’akanmu, semoga keputusanmu itu keputusan yang terbaik bagimu, bagi agamamu, dan bagi semua orang.” Ucap Ayahku dengan muka pasrah dan sambil memberi sedikit senyuman.
Ah, Ya Tuhan, aku sungguh-sungguh bersyukur kepadamu. Rasanya aku ingin melompat setinggi mungkin dan berteriak lepas penuh kebahagiaan. Bagaimana perasaanmu kalau cita-citamu sudah direstui orang tuamu dan didukungnya? Rasanya tidak sabar lagi aku berlari mengejar mimpiku. Rasanya tidak ada lagi rintangan yang akan menghalangiku untuk meraihnya. Ya Tuhan, engkau sungguh Maha pengasih lagi Maha penyayang. Terima kasih, Tuhan.

*****

            Ya, akhirnya mimpiku direstui oleh kedua orang tuaku. Rasanya aku tak sabar lagi untuk segera membuat rute penjelajahanku selepas dari SMA kelak. Ya, memang banyak orang yang menyepelekan Teknik Mesin dan meragukan kemampuan seorang insinyur teknik mesin. Kebanyakan mereka bercita-cita setinggi langit. Menjadi dokter, tentara , atau bahkan presiden. Tapi aku yakin, walau pun cita-citaku sederhana, aku bisa membuatnya jadi luar biasa. Aku yakin dengan cita-cita yang hanya setinggi tanah ini, aku bisa membuktikan bahwa aku bisa bermanfaat untuk orang lain.
            Tak terasa, sudah hampir dua pekan aku berada di Depok. Sebentar lagi liburan semester genap akan berakhir. Aku harus pulang ke Yogyakarta. Rasanya belum puas aku melepas kerinduanku pada keluargaku, pada masa kecilku, dan pada kota ini. Ya, tapi apa boleh buat, aku tetap harus pulang ke Yogyakarta untuk melanjutkan petualanganku. Aku harus kembali ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan mimipiku. Mempertanggungjawabkan mimipi yang sudah direstui kedua orang tuaku.
            Ya, Begitulah waktu. Seribu duka, seribu isak, dan seribu gemuruh di dada beralas doa, tak akan dapat meminta sang pemupus hari kemarin itu untuk datang kembali. Kembali pada hakikat lama yang telah berlalu untuk selanjutnya menjadi kenangan. Sampai jumpa lagi, Ayah. Sampai jumpa lagi, Ibu. Sampai jumpa lagi, Adi, adikku. Sampai jumpa lagi Depok. Aku akan kembali membawa bukti, bukti bahwa mimipiku sudah terwujud. Aku akan membawa bukti bahwa cita-cita yang hanya setinggi tanah ini sudah terwujud, dan menjadi sangat luar biasa.


---SELESAI---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar