Saat ini sudah masuk
paruh kedua tahun 2011, tepatnya Bulan Juli 2011. Liburan semester genap telah
tiba. Sebentar lagi aku akan naik ke kelas dua belas, atau orang biasa
menyebutnya kelas tiga SMA. Ya, sudah terbayang betapa sibuknya kehidupanku di
kelas dua belas besok. Seperti sibuknya kakak-kakak angkatanku waktu kelas dua
belas dahulu. Waktu di kelas dua belas pasti akan terasa sangat singkat.
Selangkah lagi aku akan lepas dari masa putih abu-abu dan menuju dunia kampus.
Dunia kampus, dunia
yang masih teramat asing bagiku. Ya, dunia yang sama asingnya dengan hutan
hujan tropis yang belum pernah terjamah oleh manusia. Aku belum tahu
seluk-beluk dan atmosfer yang ada di sana, kecuali dari informasi yang
kudapatkan dari internet.
*****
Hari
ini aku akan pulang ke Depok. Sejak lima tahun lalu, baru kali ini aku sempat
pulang ke Depok. Aku akan mendiskusikan masalah ini bersama kedua orang tuaku.
Mendiskusikan masalah dunia kampus yang sebentar lagi akan kujamah.
Mendiskusikan masalah rute perjalanan petualanganku selepas dari putih abu-abu
kelak.
Deru
roda kereta api mewarnai suasana pagi hari ini. Pedagang asongan tak hentinya
menawarkan barang dagangannya. Tak jarang juga beberapa seniman jalanan
menghibur kami, tepatnya menghiburku. Ya, menghiburku yang sedang bingung dan
khawatir kalau-kalau proposal perjalanan hidupku akan ditolak oleh kedua orang
tuaku. Khawatir kalau-kalau cita-citaku tidak direstui mereka. Ya, semoga
kekhawatiranku itu tidak benar.
*****
Aku
tiba di Depok pukul empat sore. Matahari senja tersenyum tipis. Angin lembut
membelai semua orang di kompleks perumahan ini. Ibu-ibu sedang menyuapi
anak-anaknya yang masih balita. Bapak-bapak baru pulang dari masjid. Sebagian
lagi ada yang baru pulang dari tempat mereka mencari nafkah. Anak-anak kecil
sedang bermain bola di gang perumahan ini. Sebagian yang lain bermain kelereng.
Suasana ramai nan ceria mewarnai sore hari ini. Ah, sungguh suasana senja yang
sudah lama tidak aku rasakan.
“Eh,
Albi, baru datang. Apa kabar?” Belum sampai aku ke depan rumahku, Aray, teman
masa kecilku sudah menyapaku.
“Aray?
Alhamdulillah baik-baik saja, Ray. Kamu gimana?” Jawabku sambil keheranan
karena Aray tampak jauh berbeda dengan Aray yang lima tahun lalu. Sekarang dia
lebih tinggi dariku.
“Alhamdulillah,
aku juga baik-baik saja. Ayo, mampir ke rumahku, Al!” Ucap Aray.
“Wah,
kapan-kapan ya, Ray. Bahkan aku pun belum masuk ke rumahku. Tas ransel bawaanku
juga masih kugendong” Jawabku sambil tersenyum tipis.
“Oh,
ya. Tapi janji loh, Al. Awas kalau besok kamu nggak main ke rumahku.” Jawab
Aray sambil membalas senyuman.
Setelah
melepas rindu pada teman masa kecilku, aku melanjutkan perjanan ke rumahku,
tepatnya di blok D. Aku menyusuri kompleks perumahan ini sembari mengenang
kembali kisah-kisah masa kecilku lima tahun silam, hingga akhirnya aku tiba di
rumahku, di blok D. Ayah dan Ibuku sudah menungguku di sana. Mereka memberikan
sambutan hangat penuh keceriaan. Tak ketinggalan juga dengan Adi, adik
laki-lakiku yang masih berumur sepuluh tahun. Tampaknya dia sudah besar
sekarang. Ah, aku rindu keluargaku.
*****
Ada
yang berbeda malam ini. Bukan, bukan karena malam ini terasa sangat sejuk
dengan bintang-bintang yang tergantung di langit sana. Bukan juga karena sang
rembulan sedang memamerkan keindahannya. Tapi sebaliknya. Malam ini terasa
sangat menegangkan. Ruang tamu rumah kami seakan terasa sangat pengap. Bagiku
malam ini terasa sangat genting, mungkin sama gentingnya dengan kondisi Indonesia
saat dijajah Belanda.
“Teknik
mesin?” Tanya ayahku dengan raut wajah kemerahan penuh keterkejutan. “Memangnya
sarjana teknik mesin bisa apa? Mau jadi apa kamu setelah lulus? Mau jadi montir
di bengkel?” Ucap ayahku melanjutkan kalimatnya.
Kali
ini aku benar-benar dalam kondisi siaga satu. Aku menelan ludah. Badanku
gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Mulutku bungkam, tak bisa
mengeluarkan satu kata pun. Ya Tuhan, tolong aku.
Selama ini belum
pernah aku berdebat langsung dengan kedua orang tuaku. Hampir semua petuah
mereka aku dengarkan dan aku patuhi. Seperti saat mereka menyuruhku untuk
pindah ke Yogyakarta dan tinggal bersama abah lima tahun silam. Aku pun
menurutinya. Tapi kali ini, rasanya aku tidak bisa mengikuti perintah mereka
lagi.
Belum sempat aku
menghela nafas, Ibuku lebih dahulu mengeluarkan wejangannya, “Sudah, kamu masuk
Kedokteran UI saja. Sudah prospek kerjanya lebih jelas, kualitasnya juga bagus,
dan lokasinya juga dekat, jadi kamu tidak perlu kos. Menghemat biaya juga.”
Aku menghela nafas.
Ternyata apa yang aku khawatirkan waktu aku akan berangkat ke Depok terjadi. Ya,
proposalku ditolak oleh kedua orang tuaku. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam.
Mengambil ancang-ancang, dan saat bibir ini akan bersuara, Ayah lebih dahulu
melanjutkan kalimatnya, “Betul apa kata Ibumu. Sudah, kamu masuk FK UI saja.
Kamu juga bisa sambil menemani adikmu disini.”
“Iya Al, dan kalau
kamu masuk kedokteran, kamu bisa menolong banyak orang. Insya Allah berkah.”
Ucap Ibuku melengkapi petuah ayahku. Ah, Ya Tuhan. Semua kata-kataku yang sudah
kususun rapi dan kusiapkan matang-matang dengan pondasi yang kokoh sejak aku
akan berangkat ke Depok, kini semuanya runtuh seketika. Keringat dinginku makin
bercucuran. Aku menghela nafas lagi.
“Lagipula, cita-cita
itu harus setinggi langit. Orang-orang bercita-cita tinggi. Mereka ingin jadi
dokter, atau tentara, atau bahkan jadi presiden. Kamu kok malah ingin masuk
Teknik Mesin.” Sambung ayahku. Ya, memang dokter pernah menjadi cita-citaku.
Tapi itu dahulu. Dahulu sekali sebelum aku menemukan jati diriku. Sebelum aku
mengenal siapa diriku.
Aku kembali menghela
nafas dan mula mengambil ancang-ancang lagi. Aku harap kali ini mulutku tidak
bungkam lagi. Sebelum terdahului lagi oleh kedua orang tuaku, aku buru-buru
mengeluarkan kalimat-kalimat yang selama ini berputar-putar di kepalaku, “Tapi
Yah, Bu, di kedokteran itu biologi sama kimia sangat diperlukan. Sedangkan aku
nggak suka biologi, apalagi menguasainya. Aku sama sekali tidak bisa menikmati
pelajaran biologi. Bahkan aku pernah mendapat nilai merah tiga kali
berturu-turut pada ulangan harian di semester empat kemarin. Kalau kimia memang
sedikit-sedikit aku bisa, itu pun cuma yang eksaknya, sedangkan yang bersifat
hafalan, pasti aku mati kartu. Justru aku lebih suka matematika sama fisika,
dan keduanya pasti dipelajari di teknik mesin.” Ucapku dengan bibir yang masih
gemetar. Tapi aku lega, setidaknya bibirku tidak bungkam lagi. Aku tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum kedua orang tuaku mengeluarkan lagi
wejangannya, aku buru-buru melanjutkan kalimatku, “Dan sarjana teknik mesin itu
dibutuhkan disemua sektor industri manufaktur, Yah, Bu. Semua orang tidak hanya
butuh dokter. Tapi semua orang juga butuh insinyur, butuh peralatan mekanik,
alat transportasi, listrik, dan butuh pembangkit listrik. Sarjana teknik mesin
sangat diperlukan disitu. Aku yakin semua jurusan yang dibuka pasti memiliki
prospek kerja yang bagus. Dan aku yakin, di teknik mesin, aku bisa mendapatkan
masa depan yang cerah. Aku akan berusaha sungguh-sungguh, sehingga aku tidak
perlu repot-repot mencari pekerjaan setelah lulus, tapi orang-orang yang akan
mencariku. Kalau soal biaya kos, aku ingin masuk Teknik Mesin UGM, jadi aku
bisa tinggal bersama abah lagi di Yogyakarta dan tidak perlu kos juga.
Lokasinya kan juga dekat. Lagipula, kalau aku pindah ke Depok lagi, abah mau
sama siapa? Kasihan Yah, Bu.” Ucapku menyambung kalimat-kalimatku yang mulai
kususun kembali. Kali ini tinggal ayah dan ibuku yang terdiam. Suasana menjadi
hening sejenak.
“Halah, tapi
nyatanya banyak sarjana teknik mesin yang cuma jadi montir di bengkel. Lebih
parahnya lagi ada juga yang jadi pengangguran. Dan sebagian besar mereka juga
cuma kerja di pabrik-pabrik. Memangnya berapa sih gaji karyawan pabrik? Gimana
kamu mau menafkahi anak istrimu kelak?” Tanya ayahku yang ternyata belum
kehabisan kata-kata.
Aku mulai menghela
nafas untuk ke yang sekian kalinya, “Soal rezeki itu sudah ada yang mengatur,
Yah. Kita nggak akan pernah tahu masa depan. Tapi aku yakin, kalau aku memiliki
profesi sesuai dengan passion, maka
hasilnya akan maksimal. Kalau aku masuk kedokteran, sedangkan bakat dan minatku
bukan disitu, aku takut aku akan salah mendiagnosa pasien kelak ketika aku jadi
dokter, Yah” Jawabku sambil menangkan diri.
“Kamu tidak perlu
takut soal itu. Semua sudah ada ilmunya dan diajarkan disana.” Jawab ibuku
dengan nada yang mulai menurun.
“Tapi, Yah, Bu.
Rasanya bakat dan minatku tetap bukan di kedokteran. Aku tidak yakin di
kedokteran, aku bisa maksimal. Aku justru lebih yakin di Teknik Mesin. Yah, Bu,
jika aku gagal kelak, biarlah aku menyalahkan diriku sendiri atas keputusanku
ini, daripada aku menyalahkan kalian atas keputusan kalian itu.” Jawabku dengan
yakin. Aku lega, setidaknya kalimat-kalimat yang selama ini terbayang-bayang di
kepalaku bisa aku ekspresikan semua. Kini tinggal Ayah dan Ibuku yang terdiam.
Raut muka mereka sudah mulai mereda.
“Kamu yakin dengan
keputusanmu?” Tanya Ibu dengan nada yang sudah turun.
“Iya, Bu. Aku sangat
yakin dengan keputusan ini.” Jawabku dengan memberikan senyum.
“Ya, baiklah kalau
kamu sudah sangat yakin dengan keputusanmu itu. Ibu tidak bisa memaksakan. Ibu
Cuma bisa mendo’akan semoga kamu selalu sukses.” Jawab Ibuku dengan nada rendah
dan raut muka pasrah. Ah, terima kasih Tuhan. Sepertinya Ibu sudah mulai
mengerti dengan apa yang aku maksudkan. Tapi, tidak dengan ayahku. Ayahku masih
diam dengan muka pasrah kemerahan.
“Ya, sebenarnya Ayah
dan Ibu cuma nggak mau kamu salah mengambil keputusan. Kami tidak ingin masa
depanmu hancur berantakan gara-gara kamu salah ambil keputusan. Soalnya
transisi dari SMA ke dunia kampus itu masa yang paling menentukan. Masa
transisi yang akan menentukan garis besar kehidupanmu di masa depan. Sebenarnya
sih, Ayah masih tetap ingin kamu masuk kedokteran. Tapi kalau keputusanmu sudah
bulat, yah, apa boleh buat. Ayah juga cuma bisa mendo’akanmu, semoga keputusanmu
itu keputusan yang terbaik bagimu, bagi agamamu, dan bagi semua orang.” Ucap
Ayahku dengan muka pasrah dan sambil memberi sedikit senyuman.
Ah, Ya Tuhan, aku
sungguh-sungguh bersyukur kepadamu. Rasanya aku ingin melompat setinggi mungkin
dan berteriak lepas penuh kebahagiaan. Bagaimana perasaanmu kalau cita-citamu
sudah direstui orang tuamu dan didukungnya? Rasanya tidak sabar lagi aku
berlari mengejar mimpiku. Rasanya tidak ada lagi rintangan yang akan
menghalangiku untuk meraihnya. Ya Tuhan, engkau sungguh Maha pengasih lagi Maha
penyayang. Terima kasih, Tuhan.
*****
Ya,
akhirnya mimpiku direstui oleh kedua orang tuaku. Rasanya aku tak sabar lagi
untuk segera membuat rute penjelajahanku selepas dari SMA kelak. Ya, memang
banyak orang yang menyepelekan Teknik Mesin dan meragukan kemampuan seorang
insinyur teknik mesin. Kebanyakan mereka bercita-cita setinggi langit. Menjadi
dokter, tentara , atau bahkan presiden. Tapi aku yakin, walau pun cita-citaku
sederhana, aku bisa membuatnya jadi luar biasa. Aku yakin dengan cita-cita yang
hanya setinggi tanah ini, aku bisa membuktikan bahwa aku bisa bermanfaat untuk
orang lain.
Tak
terasa, sudah hampir dua pekan aku berada di Depok. Sebentar lagi liburan
semester genap akan berakhir. Aku harus pulang ke Yogyakarta. Rasanya belum
puas aku melepas kerinduanku pada keluargaku, pada masa kecilku, dan pada kota
ini. Ya, tapi apa boleh buat, aku tetap harus pulang ke Yogyakarta untuk
melanjutkan petualanganku. Aku harus kembali ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
mimipiku. Mempertanggungjawabkan mimipi yang sudah direstui kedua orang tuaku.
Ya,
Begitulah waktu. Seribu duka, seribu isak, dan seribu gemuruh di dada beralas
doa, tak akan dapat meminta sang pemupus hari kemarin itu untuk datang kembali.
Kembali pada hakikat lama yang telah berlalu untuk selanjutnya menjadi
kenangan. Sampai jumpa lagi, Ayah. Sampai jumpa lagi, Ibu. Sampai jumpa lagi,
Adi, adikku. Sampai jumpa lagi Depok. Aku akan kembali membawa bukti, bukti
bahwa mimipiku sudah terwujud. Aku akan membawa bukti bahwa cita-cita yang
hanya setinggi tanah ini sudah terwujud, dan menjadi sangat luar biasa.
---SELESAI---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar