Saya masuk
menjadi mahasiswa ITS pada tahun 2015 dan sekarang saya sudah semester 7. Selama
saya kuliah disini, ada banyak hal yang sudah terjadi dan itu sedikit banyak
telah mengubah pandangan saya tentang hidup. Boleh dibilang saya anak perantauan
karena memang tempat kuliah saya jauh sekali dari rumah. Karena terkendala
biaya dan waktu, saya biasanya hanya pulang ke rumah saat musim libur semester.
Kehidupan
di perkuliahan itu sangat bebas. Anda bisa memilih menjadi apapun yang anda mau.
Namun terkadang, beberapa kondisi memaksa kita untuk memilih hanya suatu jalan.
Seperti itulah pemikiran saya dulu.
Untuk
memahami mengapa saya berpikiran demikian, akan saya ceritakan sedikit background saya. Saya terlahir dalam
keluarga petani di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Sejak kecil, orang tua
saya mendidik saya untuk mandiri. Berbeda dengan anak-anak kebanyakan, saya
tidak pernah diberi uang saku, bahkan sejak saya masuk kelas 1 SD. Saya juga
tidak pernah dibelikan mainan saat ibu saya mengajak saya ke pasar –sekalipun
saya merengek sampai menangispun. Ibu saya sangat keras akan hal itu. Dulu,
saya iri dengan teman-teman seusia saya yang selalu diberi uang saku dan
terkadang dibelikan mainan juga. Namun, sekarang saya paham bahwa itulah cara
orang tua saya mendidik saya agar mandiri.
Karena
orang tua saya tidak mau membelikan saya mainan, sejak kecil saya sudah
terbiasa mencari uang sendiri. Mulai dari mencari rongsokan untuk dijual ke
pengupul atau mencarikan keong untuk pakan bebek tetangga. Dari hal itu, saya
memahami satu hal bahwa ‘uang tidak akan turun dari langit. Kita harus bekerja
keras untuk mendapatkannya.’
Pemikiran
seperti itu masih terbawa sampai saya di bangku perkuliahan. Semenjak semester
3, saya mulai mencari uang tambahan dengan mengajar les privat dan semester
berikutnya saya juga menjadi asisten dosen. Terus mengapa tidak mulai dari
semester 1? (Mungkin) alasannya karena masih adaptasi. Teman-teman yang pernah menjadi
mahasiswa baru pasti tahulah ^_^
Alasan
mengapa saya harus mencari tambahan uang sebenarnya bukan berasal dari kemauan
saya sendiri, tapi lebih karena tuntutan. Logika saja, orang tua saya tidak
bisa mengirimkan saya uang bulanan. Saya hanya diberi uang ketika saya pulang
kampung dan itupun tidak banyak. Mengandalkan dari beasiswa sajapun, saya rasa
masih kurang. Mau tidak mau, jalan yang harus saya tempuh adalah saya harus
mencari uang sendiri.
Saat ini, saya mempunyai sebuah target. Target ini terakumulasi karena selama ini saya merasa masih belum memanfaatkan waktu saya dengan baik. Oleh karena itu, saya berharap untuk diri saya sendiri. Di sisa semester berikutnya, saya berharap bisa memberikan jejak yang baik untuk ITS. Satu saja sudah cukup. Semoga.
Saat ini, saya mempunyai sebuah target. Target ini terakumulasi karena selama ini saya merasa masih belum memanfaatkan waktu saya dengan baik. Oleh karena itu, saya berharap untuk diri saya sendiri. Di sisa semester berikutnya, saya berharap bisa memberikan jejak yang baik untuk ITS. Satu saja sudah cukup. Semoga.
Suka duka
saya selama menjadi mahasiswa dan pekerja paruh waktu cukup banyak. Mulai dari
kehujanan saat pulang mengajar, tempat anak didik saya yang jauh sekali
(padahal saya hanya mempunyai sepeda), praktikum yang sangat lama, hingga
tugas-tugas matkul yang seambrek. Namun, semua itu saya lalui dengan enjoy.
Buat apa mengeluh. Iya ga?
Ijin comot kutipan
salah satu novel yang saya suka:
Hidup seperti tasbih,
Berawal dan berakhir di titik yang sama
Bukan tasbih jika hanya satu butir
Demikian pula, bukan hidup jika hanya ada satu rasa
Kehidupan akan sempurna jika sudah melalui serangkaian
butiran….
Suka, duka, tawa, tangis, gagal, berhasil, serta
pasang dan surut
Seperti tasbih yang melingkar,
Hidup juga demikian
Kemanapun pergi dan berlari…
Tetap dalam lingkaran takdir-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar